Shalat Sufistik: Shalat adalah Mikraj Orang Mukmin

Shalat adalah Mikraj Orang Mukmin merupakan salah satu sub judul pada buku Shalat Sufistik karya dari Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta AG. Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Dalam tulisannya membahas ayat terakhir surah al-Baqarah yang menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan munajat seorang hamba dihadapan Tuhannya sampai tingkat yang paling sempurna. Serta implementasinya dalam surah al-Fâtihah.
Tujuh Tingkatan Munajat Hamba di Hadapan Tuhan
- Pengakuan Diri akan Setiap Kesalahan dan Kelalaian.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَاۚ
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah.” (QS al-Baqarah [2]:286)
Di sini, menjelaskan bahwa tingkatan awal seorang yang bermunajat kepada Allah adalah dengan menyatakan pengakuan diri akan setiap melakukan kesalahan dan kelalaian. Lalai merupakan lawan kata dari mengingat atau terjaga, yang dalam dunia tasawuf terkenal dengan berzikir. Oleh karena itu, di dalam al-Quran menyebutkan:
وَاذْكُرْ رَّبَّكَ إِذَا نَسِيْتَ
“Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa” (QS al-Kahf [18]: 24)
Pada ayat ini, Allah mengingatkan kepada kita manakala telah lalai kepada-Nya untuk segera mengingat atau berzikir kepada-Nya.
Berzikir kepada Allah pada hakikatnya adalah menyebut nama-Nya. Karena, tidaklah disebut mengingat sesuatu tanpa menyebut sesuatu itu. Pada ayat lain, Allah menyuruh kita untuk menyebut nama-Nya:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang.” (QS al-Insân [76]: 25)
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (QS al-Muzzammil [73]: 8)
Mengingat atau menyebut nama Allah telah terimplementasikan pada surah al-Fâtihah ayat pertama, yakni:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
Baca Juga: Shalat: Mi’rajnya Seorang Mukmin!
- Pengakuan akan Kelemahan Diri dan Ketidakmampuan untuk Menerima Beban Berat dalam Menjalani Kehidupan Sebagaimana Beban yang Dipikul oleh Orang-Orang Terdahulu.
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْقَبْلِنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286)
Ketika seseorang tidak mendapat beban yang begitu berat dalam beribadah, karena sesungguhnya Allah tidak memberikan beban hidup di luar batas kemampuannya, maka itu merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi hamba yang beriman. Rasa syukur yang muncul dari hamba menumbuhkan pujian terhadap-Nya sebagai- mana terimplementasikan pada surah al-Fâtihah ayat kedua:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ (Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam).
- Pengakuan akan Ketidakmampuan Menerima Beban di Luar Batas yang Dimiliki.
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” (QS al-Baqarah [2]: 286)
Ekspresi ini menunjukan akan keyakinan akan kesempurnaan atau kebesaran rahmat Allah. Bentuk ekspresi ini terlihat pada ayat ketiga surah al-Fâtihah, yaitu:
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
- Pernyataan Meminta Maaf.
وَاعْفُ عَنَّا
“Beri maaflah kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286)
Sebuah ekspresi bagaimana seorang hamba mengais maaf kepada Tuhannya dengan meyakini bahwa tiada kekuasaan dan keputusan selain hanya milik-Nya semata pada Hari Kiamat nanti. Pernyataan ini merupakan pengakuan dengan keyakinan penuh akan kesempurnaan dan pernyerahan secara utuh pada Hari Kiamat yang tersimpul pada ayat keempat surah al-Fâtihah, yaitu:
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (Yang Menguasai Hari Pembalasan).
- Pernyataan Permohonan Ampun.
وَاغْفِرْ لَنَا
“Ampunilah kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286)
Yakni, permohonan ampun atas segala dosa yang telah diperbuat, sementara diri sendiri masih menyembah dan meminta pertolongan atas setiap segala kesulitan yang dihadapi. Bentuk kesempurnaan permohonan ini adalah dengan menyatakan hanya kepada Allahlah menghamba dan meminta pertolongan, seperti pada ayat kelima surah al-Fâtihah:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
- Pernyataan Permohonan Diberi Rahmat.
وَارْحَمْنَا
“Dan rahmatilah kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286)
Setelah permohonan ampun kepada Allah, pada tingkatan berikutnya adalah memohon belas kasih agar diberikan hidayah, sebagaimana pada ayat keenam surah al-Fâtihah:
اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus).
- Pernyataan Permohonan Pertolongan dari Orang-Orang Kafir.
فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَفِرِينَ
“Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS al- Baqarah [2]: 286)
Yakni, permohonan pertolongan dari orang-orang kafir. Hal ini sebagaimana terdapat pada ayat terakhir surah al-Fâtihah:
غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا الضَّآلِّيۡنَ (Bukan jalan orang yang dimurkai, bukan pula jalan orang yang tersesat).
Di dalam materi Shalat Mikraj Orang Mukmin ini menjelaskan tujuh tingkatan yang merupakan doa atau pujian Nabi Muhammad ketika menaiki alam ruhani dalam peristiwa Isra’ Mikraj, ketika menghadap sumber cahaya keagungan, yaitu Allah. Kemudian, beliau turun menyebarkan cahaya itu ke bumi dalam bentuk shalat. Oleh karena itu, di dalam buku ini disebutkan juga dalam riwayat lain meskipun kualitas hadisnya dinilai dhaif oleh kalangan ulama bahwa shalat adalah cahaya orang beriman (ash-shalâtu nûr al-mu’min).
Shalat adalah cahaya orang beriman (ash-shalâtu nûr al-mu’min).
Pingback: Pelepasan Da'i dan Imam Santri Al-Ikhlas Ujung - Pondok Pesantren Al-Ikhlas Ujung Bone