PERBEDAAN HARI ARAFAH DAN IDUL ADHA ANTARA MAKKAH DENGAN NEGARA LAIN SEPERTI INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. KH. Lukman Arake, Lc.,MA.
Adanya perbedaan penentuan hari Arafah antara Makkah dengan wilayah atau negara lain adalah sesuatu yang lumrah. Perbedaan tersebut sejak dulu sudah pernah terjadi, dan sampai hari ini masih terkadang terjadi. Tampaknya dalam menyikapi masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa hari Arafah itu didasarkan pada waktu, dan bukan tempat. Walau sebagian ulama yang lain mengatakan harus berdasar pada tempat. Mungkin bagi umat Islam yang bersamaan matla’nya dengan Makkah tidak akan mengalami masalah terkait dengan waktu puasa Arafah dan Idul Adha. Tetapi bagi umat Islam yang matla’ domisili dan negaranya berbeda dengan Makkah akan bertanya kapan mereka harus berpuasa, apakah mengikuti waktu wukufnya para jamaah haji di Arafah ataukah mengikuti waktu perhitungan matla’ tempat domisili dan negaranya? Tentu saja, bagi ulama yang mengatakan bahwa hari Arafah berdasar pada waktu dan bukan tempat berpendapat bahwa puasa Arafah dilakukan pada tanggal sembilan Zulhijah dengan berdasar pada perhitungan waktu yang ada pada tempat domisilinya atau negaranya dan tidak berdasar pada waktu wukufnya jamaah haji di Arafah.
Perselisihan tersebut sebenarnya kembali ke permasalahan perbedaan terbitnya matahari antara satu negara dengan negara lain pada bulan Ramadhan dan Syawal. Diantara dalil yang dapat memperkuat pendapat tersebut adalah pernyataan Aisyah isteri Nabi seperti yang disebutkan oleh Abdul Razzak dalam kitab al-Musannaf, Nabi bersabda: Kurban hanya jika imam/pemimpin menyembelih dan orang-orang menyembelih, dan berbuka adalah jika imam/ pemimpin berbuka dan orang orang berbuka.
Makna singkat dari hadis tersebut adalah bahwa hari Qurban adalah hari dimana Imam/ pemimpin dan penduduk kota menyembelih, dan berbuka adalah hari dimana Imam/ pemimpin dan penduduk kota berbuka.
Sebagian ulama Saudi seperti Ibnu Utsaimin pernah mengatakan: Jika negara-negara berada di bawah satu aturan dan penguasa negara tersebut memerintahkan puasa atau berbuka, maka perintahnya harus ditaati karena persoalannya dipertentangkan, dan keputusan penguasa menghilangkan perselisihan, dan berdasarkan hal tersebut, berpuasalah dan berbukalah sebagaimana masyarakat di negara tempat anda berpuasa dan berbuka, apakah negara asal anda menyetujuinya atau tidak, begitu pula pada hari Arafah, ikutilah negara dimana kamu berada.
Berdasar pada penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa memang sangat mungkin bagi kaum muslimin untuk berbeda awal dan akhir puasanya, serta dalam menentukan hari Arafah dan hari Idul Adha selama permulaan matla’nya berbeda, karena yang penting dalam permulaannya bulan dengan melihat atau menyelesaikan bulan menjadi tiga puluh hari, dan hari Arafah dan hari Idul Adha bagi orang-orang di Mekkah berbeda dengan hari Arafah dan Idul Adha bagi orang di negara lain yang permulaan matla’nya berbeda dengan mereka seperti di Indonesia. Jika penampakan hilal di Indonesia misalnya lebih lambat (Idul Adha jatuh pada hari Senin 17/6/24) dari penampakan hilal bagi penduduk Mekkah (Idul Adha jatuh pada hari Ahad 16/6/24) maka tidak dapat dikatakan bahwa mereka orang Indonesia berpuasa di hari Arafah pada hari Idul Adha, dan berpuasa di hari itu haram, karena bagi mereka hari raya idul Adha belum tiba. Sedangkan bagi penduduk negeri yang bersatu matla’nya dengan Makkah, maka wajib bagi mereka untuk bersatu dalam puasa dan Idul Adha.